AL-ASHRI : Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati dengan kesabaran.  
Selamat Datang

Kamis, 13 Maret 2008

Kedudukan Pusako Tinggi Manuruik Islam

Ditulis oleh Azmi Dt Bagindo
ImageBahwa Islam masuk ke Minangkabau tidak menggangu susunan adat Minangkabau dengan pusaka tinggi. Begitu hebat perperangan Paderi, hendak merubah daki-daki adat jahiliyah di Minangkabau, namun Haji Miskin, Haji a.Rachman Piobang, Tuanku Lintau, tidaklah menyinggung atau ingin merombak susunan harta pusaka tinggi itu.

Bahkan pahlawan Paderi radikal, Tuanku nan Renceh yang sampai membunuh uncu-nya (adek perempuan ibunya) karena tidak mau mengerjakan sembahyang, tidaklah tersebut, bahwa beliau menyinggung-nyinggung susunan adat Itu, Kuburan Tuanku Nan Renceh di Kamang terdapat di dalam Tanah Pusako Tinggi”. ( Hamka IDAM hlm 102 )
“Tetapi Ayah saya DR. Syekh Abdulkarim Amrullah Berfatwa bahwa harta pusaka tinggi adalah sebagai waqaf juga, atau sebagai harta musaballah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab pada hartanya sendiri di Khaibar, boleh diambil isinya tetapi tidak boleh di Tasharruf kan tanahnya. Beliau mengemukan kaidah usul yang terkenal yaitu; Al Adatu Muhak Kamatu, wal ‘Urfu Qa-Dhin Artinya Adat adalah diperkokok, dan Uruf ( tradisi) adalah berlaku”. ( Hamka IDAM hlm 103 )

Aturan adat tentang harta / tanah ini sering menimbulkan masalah dan perdebatan di antara pemuka adat dan pemuka agama Islam dalam berbagai pertemuan, musyawarah atau seminar karena menurut ajaran agama Islam harta pusaka dari ayah seharusnya lebih banyak diwariskan kepada anak, tidak kepada kemenakan. Masalah ini timbul karena salah pengertian tentang kedudukan harta pusaka menurut adat Minangkabau. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa harta pusaka/tanah itu bukanlah milik pribadi ayah, tetapi milik kaum sehingga harta pusaka itu tidak dapat diwariskan kepada anak. Berdasarkan hal itu dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau (Naim,1968) diputuskan bahwa terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh dan terhadap harta pusaka berlaku hukum adat. Selanjutnya, dalam seminar itu diputuskan tentang hukum waris sebagai berikut :


* Harta pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakili oleh Mamak Kepala Waris di luar dan di dalam peradilan.

* Anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk ke dalam badan hukum itu masing-masingnya bukanlah pemilik dari harta badan hukum tersebut. (Naim, 1968:243)

Sebagai harta kaum, harta bersama, harta pusaka itu kuat kedudukannya dalam masyarakat Minangkabau karena harta itu hanya boleh diwariskan secara turun menurun, tidak boleh dijualbelikan, apalagi dipindahkan haknya kepada orang di luar kaum atau sukunya. Terhadap harta pusaka (pusaka tinggi), anggota paruik atau jurai, atau kaum, bukanlah yang memiliki harta pusaka itu, mereka hanya mempunyai hak pakai (ganggam nan bauntuak). Dengan demikian, harta pusaka di Minangkabau berada dalam keadaan tetap, warih indak baliah putuih, katurunan buliah punah.

Hamka mengatakan bahwa tanah, “Pusako Tinggi” adalah “Tiang Agung Minangkabau” yang dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando. Jarang pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku itu. (Hamka, dalam Naim, 1968:29)

Apa maksud pernyataan Hamka ini? Hal ini perlu dipahami betul. Maksudnya adalah harta pusaka itu ibarat tiang utama bangunan rumah. Apabila tiang rumah itu patah maka rubuh pulalah rumah itu. Demikian pula halnya tanah sebagai pusaka tinggi. Apabila tanah itu sudah dikuasai orang luar, orang Minangkabau tidak menguasai tanah airnya lagi, orang Minangkabau akan tersingkir dari negrinya sendiri. Sebagai contoh dapat diketahui terhadap orang Betawi di Jakarta, mereka tersingkir ke pinggir-pinggir kota. Demikian pula halnya orang Melayu di Singapura. Penduduk asli menjadi budak di negrinya sendiri. Hal ini jangan terjadi hendaknya di Minangkabau, Hal ini perlu diantisipasi dengan tindakan nyata, di antaranya memberlakukan hukum adat tentang harta pusak, khususnya mengenai pertanahan ini.
Pado saat kini harato tu kito liek ado beberapa manfaatnyo;

pertamu sebagai wadah untuak bakumpua atau basatu seluruh keluarga nan saparuik.

Nan kaduo sebagai bukti hak asal usul nan bapandam bapakuburan basasok bajarami.

Nan katigo sebagai arato cadangan jikok ado dunsanak kamanakan kito nan barado di rantau, kehidupan agak susah atau laki mati, hiduik marando kamalah badan ka bagantung, inyo ado tampek babaliak, yaitu harato pusako tinggi. Baliaklah ka kampung dan tinggalah di rumah gadang dan ambiak hasil harato pusako tu.

Namun, kalaulah tabuka pulo kesempatan baik pai pulolah marantau. Sakitu sajo dulu dari ambo mudah-mudahan ado manfaatnyo, mohon maaf dan terima kasih.

Wassalam,
Azmi Dt.Bagindo